SEJARAH MARITIM DAN PERJUANGAN KERAJAAN-KERAJAAN NUSANTARA MELAWAN HEGEMONI EROPA





logo unhan.jpg
 







SEJARAH MARITIM DAN PERJUANGAN KERAJAAN-KERAJAAN NUSANTARA MELAWAN HEGEMONI EROPA

Oleh :
Bambang Prasojo Wicaksono
(120170203004)
Dea Fadillah Damai
(120170203006)
Donny Setiawan
(120170203008)
Elesmi Hani
(120170203011)
Lutfia Inggriani
(120170203015)
Nuruma Uli Nuha
(120170203020)


UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA
FAKULTAS MANAJEMEN PERTAHANAN
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTAHANAN
TAHUN 2017


PENGANTAR
Dalam tulisan ini, akan dibagi menjadi dua tema besar dalam perjalanan sejarah perang di Nusantara. Pertama, kami mencoba melihat tulisan ini berdasarkan sejarah  bahari yang ada di Indonesia saat ini, dengan dua kerajaan yang kami anggap besar pada masanya (memiliki pengaruh wilayah cukup luas). Kedua kerajaan tersebut adalah Sriwijaya dan Majapahit. Dimana kedua kerajaan ini menjadi salah satu klaim sejarah atas pembentukan wilayah Indonesia. Kedua, pembahasan berikutnya kami akan menuliskan tentang sejarah-sejarah perang yang mewakili setiap pulau besar Indonesia melawan hegemoni Eropa, yakni: Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Karena kami tidak mungkin menuliskan seluruh perjuangan kerajaan-kerajaan Nusantara dari hegemoni negeri-negeri Eropa. Kami menyebutnya hegemoni bangsa eropa dikarenakan, bangsa Cina dan Arab pun melakukan penjajahan dalam bentuk ekonomi ataupun kebudayaan di Nusantara.
Perang-perang tersebut memberikan akibat yang besar bagi Pemerintah Hindia Belanda dan mengakibatkan berubahnya pola kolonialisasi yang ada di Sumatera dan Jawa. Semisal Perang Diponegoro, melahirkan Sistem Tanam Paksa,  yang memberikan dampak terhadap pola penghisapan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Diakhir tulisan, kami menuliskan perbedaan cara pandang sejarah dalam kaca mata Kolonialis dan Indonesia-sentris. Yang kemudian dilanjutkan dengan kesimpulan yang didapat dari tulisan ini.
PEMBAHASAN
I.              SEJARAH BAHARI
Sejak masa Kolonial Belanda, Indonesia telah menjadi subjek perdagangan dunia melalui laut. Selat Malaka merupakan pintu gerbang pelayaran dan perdagangan dunia sejak masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Akibat dari berkembangnya perdagangan dunia yang melalui rute di Laut Indonesia, bangsa Barat merubah rute perdagangannya yang berawal dari Selat Malaka menjadi rute alternative mengelilingi benua Afrika, menyebrangi Samudra Hindia, langsung menuju Indonesia. Sedangkan bangsa Spanyol mencapai Indonesia dengan menyebrangi Samudra Atlantik dan Pasifik. Rute pelayaran dan perdagangan bangsa barat dan timur paling ramai melintasi Laut Jawa, karena beberapa alasan, antara lain : (1) ombak di Laut Jawa relative kecil, (2) Laut Jawa berada di tengah Kepulauan Indonesia, (3) kedudukan yang strategis jalur perdagangan dan pelayaran antara Malaka, Jawa dan Maluku. Sehingga Laut Jawa merupakan Laut utama atau Laut inti dari aktifitas perdagangan dan pelayaran di Nusantara dan jembatan penghubung perdagangan di kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia.
Laut mengandung dinamika yang mampu menciptakan kesatuan, hubungan antar manusia dan antar bangsa lewat transportasi, perdagangan dan pertemuan budaya. Sejarah Bahari Indonesia merupakan inti dari proses pembentukan interrelasi lintas budaya bangsa Indonesia yang menggunakan saran aktifitas perdagangan dan politik bangsa Barat-Timur. 

SEJARAH KERAJAAN MARITIM DI INDONESIA
Kekuasaan laut pada aktifitas perdagangan antara bangsa Barat dan bangsa Timur yang melalui selat Malaka berada di bawah Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Kerajaan Majapahit di Jawa. Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan pelayaran serta pusat kegiatan ilmiah agama Budha. Kekuasaan Kerajaan Majapahit berdasarkan pada kekuasaan di Laut. Perbedaan kekuasan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada tabel 1. 

Tabel 1. Perbedaan Kekuasaan Kerjaaan Sriwijaya dan Kerjaan Majapahit

Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Majapahit
Hubungan Perdagangan, Ekspansi dan Konflik
Politik Ekspansi untuk menaklukkan kerajaan lain di Sumatra terjadi pada abad ke-7, tahun 690 M
Sumpah Palapa oleh Gajah Mada : Ia tidak akan merasakan Palapa (rempah-rempah) sebelum daerah seluruh Nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit
Memperluas kekuasaan dari Melayu (Jambi) sampai Bangka dan Lampung Selatan tahun 686.
Politik sistem Yoga, penaklukkan dengan kekuatan militer merupakan rencana Kertanegara untuk persekutuan pan-Indonesia. Diawali dengan serangan di Bali dibawah pimpinan Gajah Mada
Politik Laut, mewajibkan kapal singgah di pelabuhan “paksaan menimbun barang”.
Daerah kekuasaan Majapahit meliputi Mendawai, Brunai dan Tanjung Puri di Kalimantan, Bali, Makassar, Banda dan Maluku.
Permulaan abad ke-13 telah menguasai Sumatra, Malaka dan bagian Barat Pulau Jawa (Sunda).
Kemunduran Majapahit dikarenakan perang saudara, hilangnya kekuasaan pusat di luar daerah Ibukota Majapahit.
Abad XII daerah taklukkan Sriwijaya di Selat Malaka menerapkan pemberian upeti kepada Negara Cina.
Kemunduran Sriwijaya karena timbulnya konflik dengan kerajaan Mataram di Jawa Timur pada abad X
Hubungan dengan Jawa
Sriwijaya ingin menundukkan Jawa (Tarumanegara) dengan memasukkan Selat Sunda didalam kekuasaan.
-----
Tahun 1275 ekspedisi perang (Pamaluyu) dari Jawa Timur ke Sumatra dimulai. Hasilnya, Melayu takluk pada kerajaan Jawa.
Tradisi Diplomasi dan Pola Pengamanan
Sriwijaya mengirimkan upeti ke China agar mendapatkan perlindungan dan agar Cina tidak membuka perdagangan laing dengan negara di Asia Tenggara.
Mengirimkan pegawai Majapahit ke daerah takluk untuk memungut sumbangan di daerah tersebut.
Pola pengamanan dengan cara memasukkan kepala bajak laut dalam ikatan dengan kerajaan, mendapatkan bagian yang ditentukan Raja dari hasil perdagangan.
Armada Kuat untuk mengadakan ekspedisi-dera, serta pengawasan kepolisian
Akhir Kejayaan
Setelah abad ke-14, timbul persengketaan dengan raja di Chola yang mengejar kekuasan laut di Teluk Benggala
Penyebaran agama Islam sejak tahun 1400 di Malaka. Berdirinya Kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit
Tahun 1365 Kerajaan Sriwijaya ditaklukkan Jawa, karena wilayah Sriwijaya tidak ditempati oleh Jawa, akhirnya  perebutan kekuasaan wilayah Sriwijaya dilakukan oleh orang Tionghoa
Daerah kekuasaan Majapahit mulai melepaskan diri terutama di daerah pesisir.
Sumber : data diolah

II.    SEJARAH PERANG PRA KEMERDEKAAN
1.    Perang Padri
      Perang Padri merupakan perang melawan Belanda yang dipimpin oleh Imam Bonjol yang lahir di Minangkabau tahun 1772. Awal munculnya Perang Padri dikarenakan konflik kekerasan masyarakat Islam Lokal (Kaum Adat) dan penjajahan Belanda tahun 1830. Kondisi Minangkabau mengalami kemerosotan moral, sehingga ada perbaikan yang dipelopori oleh para ulama Minangkabau yang disebut sebagai kaum Padri yang mendapat dukungan dari rakyat. Jihad periode pertama dimulai dengan perlawanan antara kaum Padri dengan kaum Adat, dan Kaum Padri berhasil mendirikan daerah basis pemerintahan di Bonjol yang menjalankan Syariat dan membawa kemakmuran di Minangkabau. Periode kedua, kaum Adat yang beragama Islam meminta bantuan Belanda, namun mereka mendapatkan kekejaman dari Belanda. Periode ketiga, Kaum Adat bersekutu dengan Kaum Padri untuk melawan penjajahan Belanda, namun gagal akibat Kaum Adat dan Kaum Padri diserang oleh pasukan koalisi pimpinan Belanda (Jawa, Batavia, Bugis, Madura, Eropa dan Afrika).
   Sejak abad ke-11, Minangkabau dikenal sebagai penghasil emas yang menjadi komoditi ekspor utama serta menjadi pemasok penghasilan utama para pemimpin adat Minangkabau. Kepemimpinan Imam Bonjol berhasil meng-Islamkan penduduk pribumi. Tujuan lain dari gerakan Padri adalah sebuah kepimpinan ulama dalam sebuah pemerintahan yang sah disaat tidak ada satu pun pemerintahan atau kerajaan yang berdaulat di wilayah tersebut waktu itu dan Indonesia belum menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Kekuasaan penjajah di Minangkabau antara lain :
1.Abad XI, India Selatan merupakan mitra dagang emas di Minangkabau
2.Abad XV, Gujarat bergabung menjadi mitra dagang Minangkabau
3.  Abad XVI, Portugis di Malaka ingin menguasai emas di Minangkabau untuk membayar lada Malabar dan Aceh. Secara bertahap berhasil menempati pelabuhan pantai Minangkabau
4.  Abad XVII, Belanda (VOC) mengambil alih peran Minangkabau, menguasai emas untuk membayar rempah-rempah yang dibutuhkan. Tanhun 1651, VOC mendapatkan emas di Pariaman.
      Sekitar tahun 1820 M, Kaum Padri berhasil menguasai sebagian besar Minangkabau. Mereka melakukan Reorganisasi pemerintahan dengan sistem pengangkatan seorang imam untuk agama dan Katib untuk keamanan, ketertiban dan keadilan. Perang Padri dilakukan untuk menyatukan umat Islam delam satu kepemimpinan Imam, yaitu Tuanku Imam Bonjol. Perang Padri terjadi sekitar abad XIX, keberhasilan perang ditandai dengan berdirinya Benteng Bonjol yang berada di Bukit Tajadi (sebelah Timur Alahan Panjang). Benteng Bonjol dilengkapi dengan senjata perang untuk persiapan menghadapi perang. Perluasan kekuasaan kaum Padri, imam Bonjol mengerahkan pasukan ke Tapanuli Selatan, keberhasilan kekuasaan ditandai dengan berdirinya Benteng Rao dan Benteng Dalu-Dalu. Gerakan Padri dimulai tahun 1803 hingga 1838 dengan Belanda secara resmi menguasai sebagain kecil Sumatra Barat pada tahun 1821.
Setelah Padri ditaklukkan, pusat kepemimpinan Padri berpindah-pindah untuk mengatur strategi perang melawan Belanda. Perlawanan Padri menyebabkan Pasukan Belanda di Rao sampai Mangopoh berhasil dikalahkan. Perang Padri didukung oleh kekuatan pasukan militer yang cukup banyak dan kuat. Kekalahan Imam Bonjol adalah akibat dari umur yang sudah tua, tidak memiliki pengganti dan penghianatan yang dilakukan Kaum Adat terhadap Kaum Padri serta Padri tidak mampu memilah orang yang bersalah dengan yang tidak disebabkan karena budaya kesukuan yang tinggi.

2.    Perang Diponogoro
Perang Diponegoro adalah sebuah perang besar yang pernah terjadi di Pulau Jawa. Pihak-pihak yang berseteru dalam perang ini adalah Pangeran Diponegoro beserta pasukannya dan pasukan kolonial Belanda. Perang tersebut terjadi pada tahun 1825 hingga 1830. Dalam bahasa asing, perang ini dikenal dengan sebutan “The Java War” atau “De Java Oorlog”. Awal mula terjadinya perang diponegoro (1825-1830) pemicunya adalah adanya penancapan tonggak-tonggak pembuatan jalan rel kereta api yang melewato area pekuburan leluhur Pangeran Diponegoro. Namun hal tersebut bukan masalah utama yang sebenarnya yang sesungguhnya ini adalah akumulasi dari semua permasalahan yang ada, seperti pajak yang tinggi, campur tangan belanda dalam istana Yogyakarta, hingga permasalahan ketidak puasan di kalangan istana itu sendiri. Pada masa peperangan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro saat itu sebenarnya sudah mulai menunjukkan metode perang yang taktis jika dipersamakan dengan metode perang modern saat ini. lebih lanjut Zuhdi (2014) mempersamakan metode perang zaman dahulu yang digunakan Pangeran Diponegoro seperti perang terbuka (open war fare) dan perang gerilya (geurilla war), yang juga dilengkapi dengan taktik urat syaraf (psy-war).
Pada tahun 1825-1826 adalah fase awal dimulainya pengejaran Pangeran Diponegoro dengan hasil keputusan pribumi mendukung Pangeran Diponegoro dan pasukan kolonial belanda. Pangeran Diponegoro mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo. Aksi atau opsi dari pasukan pribumi pendukung Pangeran Diponegoro adalah perang gerilya, gencatan senjata, dan spionase (maksud dari spionase di sini adalah memata-matai dan mencari kekuatan & kelemahan lawan). Sedangkan aksi atau opsi dari pasukan kolonial Belanda adalah mengejar Pangeran Diponegoro, gencatan senjata, menyelundupkan mata-mata, psy-war (maksud dari psy-war di sini adalah insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat secara langsung dalam pertempuran), dan menjadikan Sultan Hamengku Buwono (HB) II sebagai pemimpin Yogyakarta. Mata-mata yang diselundupkan oleh pihak kolonial Belanda adalah Kyai Sentono. Menurut Ricklefs (2008), langkah pengangkatan ini diambil dengan tujuan sebagai berikut: “…untuk mendorong rakyat Jawa supaya tidak lagi mendukung pemberontakan”. Selain itu, bisa jadi alasan pasukan kolonial Belanda mengangkat kembali Sultan HB II sebagai pemimpin Yogyakarta adalah karena mereka masih melihat Sultan HB II sebagai orang yang kharismatik di mata rakyat. Alasan lain dari pengangkatan tersebut adalah bisa jadi agar pihak kolonial Belanda mendapatkan simpati dari pihak istana Yogyakarta (Sultan HB II diturunkan dari tahtanya oleh pihak Inggris dan diasingkan ke Ambon. Belanda bisa jadi melihat adanya kesempatan untuk mendapatkan simpati dari pihak istana Yogyakarta jika berhasil menjadikan kembali Sultan HB II sebagai pemimpin Yogyakarta). Pada tahun 1826 pihak Belanda berhasil memulangkan kembali Sultan HB II dan menaikkan kembali tahta Sultan HB II.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo. Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan Yogyakarta. Sementara itu, Belanda, yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, membakar habis kediaman Pangeran. Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan strategi penyerangan secara gerilya. Agar tidak mudah diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui tabel kejadian yang mengurutkan dan memetakan kejadian penting masa itu
Waktu
Kejadian
20 Juli 1825
Belanda berusaha menangkap Pangeran Diponegoro dengan mengepung kediaman beliau
26 Maret 1826
Pertempuran meluas ke Kembang-aren
16 April 1826
Pertempuran sudah meluas sampai di Plered. Pasukan musuh dipimpin van Geen, Cochuis.
30 Juli 1826
Di Lengkong Letnan Huebert mati tertembak
Agustus 1826
Pihak Belanda memulangkan Sultan HB II dari tempat penga singannya di Ambon dan mendudukkannya kembali di atas tahta Yogtakarta
Oktober 1826
Pasukan Diponegoro menderita kekalahan besar (dipukul mundur dari Surakarta)
Akhir November 1826
Oleh Residen Mc Gillavry di Solo diselundupkan beberapa gandek-putih, di antaranya Kyai Sentono untuk "berbakti" kepada markas besar Komando. Diketahui oleh Diponegoro dan diusir untuk kembali ke kota.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang tentara dan pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja ditangkap. Kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda.
Selama perang berlangsung sekitar 200.000 penduduk (termasuk penduduk desa yang sakit dan kelaparan), 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 tentara pribumi tewas, dengan memakan dana tidak kurang dari 20 juta gulden. Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa Perang Diponegoro merupakan perang besar di Jawa selama periode awal abad 19. Sedemikian hebatnya perlawanan P. Diponegoro sampai-sampai membuat pemerintah kolonial berganti strategi untuk menghadapi peperangan ini. Apabila pada awal perang Strategi Belanda adalah melakukan pengejaran untuk menangkap P. Diponegoro, yang justru menimbulkan banyak korban di pihak Belanda, maka pada fase selanjutnya yaitu memasuki tahun 1827, berdasarkan informasi mata-mata Belanda, Kyai Sentono yang telah diselundupkan ke markas P. Diponegoro sejak Nopember 1826, Belanda merubah strategi. Konsentrasi mereka tidak lagi pada pengejaran P. Diponegoro tetapi pada taktik pengepungan melalui pembangunan benteng dan pos pertahanan Benteng Stelsel. Perang Diponegoro juga sekaligus perang besar dan dianggap sebagai fase terakhir keterlibatan tentara Jawa dalam perang. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Akibat dari perang ini pun begitu besar bagi Pemerintah Hindia Belanda, hingga menyebabkan anggaran negara menjadi minus. Krisis anggaran tersebut disamping untuk membiayai perang melawan Diponegoro juga digunakan dalam rangka ekspedisi-ekpedisi militernya di Jawa maupun di Luar Jawa. Negeri Belanda sebelumnya pun sudah meminjam uang sebesar 40 juta gulden, untuk kepentingan tersebut. Guna mengatasi kesulitan keuangan pasca perang, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Sistem Tanam Paksa dengan tanaman yang sesuai dengan komoditas pasar Eropa melalui lelang di Amsterdam (kopi, teh, gula, nila, tembakau, kayu manis, kapas, dll), yang diusulkan oleh v.d. Bosch (kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal). Dapat dikatakan, pasca Perang Diponegoro, Jawa menjadi gabus yang digunakan Belanda untuk mengapung di tengah lautan. Jawa dijadikan perkebunan besar dengan menggunakan wilayah kekuasaan mataram dan Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun perkebunan raksasa, Pulau Jawa.

3.    Perang Jambi
Proses berdirinya Kesultanan Jambi, yang dimulai sejak di akhir abad ke-15 pada masa Sultan ‘Abd al-Qahhar (berkuasa 1615-1643). Sultan ‘Abd al-Qahhar mulai mengaktifkan kesultanan dengan cara menjalin hubungan politik dan perdagangan dengan bangsa-bangsa Eropa (Inggris dan Belanda). Perdagangan dilakukan di Sungai Batanghari sehingga abad ke-17 ibu kota Kesultanan Jambi menjadi pelabuhan dagang yang kaya dan ramai. (Muzakir Ali, 2013). Kontak Jambi-Negara Eropa dimulai pada 1615 ketika Jan Pieterzoon Coen, Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), mengirim dua kapal ke Jambi di bawah pimpinan kepala perwakilan dagang (opperkoopman) Sterck.
Terdapat dua strategi yang digunakan Belanda untuk menguatkan posisinya di Jambi. Pertama, membangun perwakilan dagang, yang terlaksana pada tahun kedatangan Belanda, tepatnya 15 September 1615. Pendirian perwakilan dagang lebih bersifat “politis” ketimbang “ekonomis”, karena Jambi bukanlah penghasil komoditas dan pelabuhan dagang terpenting, namun Jambi menjadi penting karena merica yang dihasilkan petani pedalaman Minangkabau dibawa menyusuri sungai Batanghari dan pelabuhan vital seperti Malaka dikuasai Portugis dan Belanda belum punya kekuasaan di mana pun. (Abid M Husnul, 2010). Ketika Malaka dan Palembang telah jatuh ke kekuasaan Belanda, perwakilan dagang di Jambi ditutup. Kedua, membuat serangkaian kontrak atau perjanjian dengan penguasa di Jambi. Sejak pertama datang, yang dilakukan adalah meyakinkan “maksud baik” Belanda kepada penguasa Kerajaan Jambi sambil menghasut agar melarang Inggris berdagang di Jambi. Jambi terlibat pertikaian kekuasaan dengan para tetangganya, karena persaingan kerajaan-kerajaan di Nusantara bagian barat untuk menjadi kerajaan terkuat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kelemahan Jambi dalam abad XVII adalah negeri yang mudah diserang para tetangganya.
Pada awalnya kerjasama Kesultanan Jambi dan Belanda, membantu Jambi (Sultan ’Abd al-Muhyi berk. 1665-1690), pada saat terjadi konflik dengan Johor. Konflik yang berlangsung sporadis dari tahun 1666 sampai 1679 berhasil mengokohkan kedudukan Kesultanan Jambi atas Johor. Sebagai imbalan atas bantuan tersebut, pada tahun 1683, Belanda menyodorkan perjanjian dagang meminta monopoli perdagangan lada di Jambi. Sikap monopoli perdagangan Belanda mendapatkan perlawanan dari rakyat Jambi. Belanda menuduh Sultan Sri Isterah Ingologo yang berkuasa 1740-1770) dibalik penyerangan kantor VOC pada 1690. Penyerangan kontor perdagangan VOC pada 1690 menjadi konflik pertama Jambi dengan Belanda.
Ketika Sultan Taha naik takhta pada 1855, menolak mematuhi perjanjian dengan Belanda, sehingga Belanda membuat ekspedisi militer tahun 1857 menyebabkan kekuasaan Sultan Taha berakhir pada 1858 karena menerapkan sistem menghindar (mencari bantuan militer kepada Turki ’Utsmaniyah). Dalam kurun waktu antara tahun 1856-1904, semangat perjuangan rakyat jambi menggelora di bawah pimpinan Sultan Thaha Saifuddin denganmelancarkan perlawanan gerilya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya dibawah pimpinan hulubalangnya.
Keberadaan dan harapan kepada orang Turki dalam usaha umat Islam di Jambi untuk mengusir Belanda juga sangat kuat tertanam di dalam pemikiran Sultan Thaha sejak pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Oleh karena itu ia beberapa kali mencoba untuk menghubungi Sultan Turki, guna mendapatkan bantuan politik dan militer. Usaha-usaha Sultan Thaha di Jambi dalam mencari bantuan kepada Turki ‘Utsmaniyah menunjukkan kenyataan tentang adanya sentimen, yang secara teologis, menunjukkan keislaman yang kuat.
  
4.    Perang Aceh
Aceh mempunyai letak yang strategis terletak di ujung utara pulau Sumatera, diapit oleh dua lautan, yaitu Hindia dan Selat Malaka yang menjadikannya menjadi jalur pelayaran dan perdagangan sebagai pintu masuk ke Nusantara dan Asia Pasifik. Perhubungan melalui laut adalah transportasi yang sangat penting dan satu-satunya sarana yang dapat menghubungkan dari satu daerah atau Negara ke daerah atau Negara lain yang menuntut Aceh untuk mampu menguasai lautan. Banda Aceh menjadi persinggahan kapal-kapal dagang dari Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Asia menuju ke Asia Timur maupun Asia Tenggara melalui Selat Malaka. Banyak bangsa asing ingin menguasai daratan Aceh. Maka letak geografis Aceh yang strategis mendorong kerajaan Aceh menjadi sebuah kerajaan Maritim dan memperkuat Armada Lautnya untuk mempertahankan kedaulatannya.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah al Mukammil (1589-1604) terjadi pertempuran laut antara Armada Selat Malaka Aceh dengan Armada Portugis yang diakhiri dengan hancurnya Armada Portugis. Kemenangan Armada Selat Malaka Aceh atas Armada Portugis mendorong Malahayati untuk membentuk sebuah Armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semuanya para wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru yang diberi nama Inong Balee. Penugasan pertama Armada Inong Balee ini aenyerbu kapal-kapal Belanda yang menyamar sebagai kapal dagang yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman karena pengkhianatannya kepada Sultan. Malahayati diangkat menjadi Laksamana dan Panglima Armada wanita pertama di dunia.
Setelah kekalahan Cornelis de Houtman, Portugis dibawah pimpinan Martin Alfonso menyerang kota Banda Aceh dan berhasil diusir oleh rakyat Aceh pada tahun 1606 M. Kapal-kapal Aceh berhasil mengalahkan Portugis di lepas Pantai Bintan dalam pertempuran tiga hari di tahun 1615 M. Pada tanggal 14 Januari 1641 M, Belanda menduduki  Malaka pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada tahun 1858, Belanda melanggar perjanjian Siak dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan, dan Serdang kepada Belanda yang sejak kepemimpinan Sultan Iskandar Muda di bawah kekuasaan Aceh. Kapal-kapal Belanda ditengggelamkan yang didukung oleh Inggris. Maka hal ini membuka hubungan diplomasi antara Belanda dan Inggris melalui perjanjian London tahun 1871 M yang didukung dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps dalam memperebutkan Selat Malaka Aceh sebagai lalu lintas penting perdagangan.
Pada tahun 1873- 1942 M merupakan perang berkecamuk anatar Belanda dan Aceh dan menjadi perang terlama di Indonesia. Pada 8 April 1873, Johan Harmen Rudolf Kohler dan pasukannya mendarat di Pantai Ceureuman langsung menduduki Masjid Baiturrahman yang menimbulkan perang Aceh Pertama (1873-1874) sebagai ekspedisi Belanda mengakhiri perjanjian London. Perang Aceh ini dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud dan berhasil menggagalkan usaha Belanda. Pada tanggal 20 November 1873 KNIL mengumumkan perang setelah kegagalannya yang pertama. Belanda berpikir telah menang perang dan mengumumkan membubarkan kesultanan Aceh. Namun pihak Aceh masih melakukan perlawanan. Sultan Mahmud Syah dan pengikutnya menarik ke bukit dan digantikan oleh Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1874-1903).
Perang Aceh kemudian dilanjutkan secara gerilya .Pada tahun 1899 terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh  yang menyebabkan Teuku Umar gugur dan diteruskan oleh istrinya Cut Nyak Dien sebagai komandan perang gerilya berikutnya. Namun Cut Nyak Dhien akhirnya dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan perjanjian rahasia dengan belanda. Cut Nyak Dhien kemudian diasingkan dan meninggal di Sumedang, Jawa Barat.

5.    Perang Banjarmasin
Perlawanan yang terjadi di Kalimantan Selatan, di wilayah kerajaan Banjar berlangsung hampir setengah abad lamanya. Jika dilihat coraknya, perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan ofensif yang berlangsung dalam waktu relatif pendek (1859-1863), dan perlawanan defensif yang mengisi seluruh perjuangan selanjutnya (1863-1905). Perlawanan ini meletus pada tahun 1859 karena rakyat dan beberapa bangsawan di Banjar merasa tidak senang dengan pengangkatan Pangeran Tamjidillah. Kalau ditinjau lebih jauh, di kalangan rakyat sudah lama terpendam rasa tidak senang karena persoalan pajak dan kerja wajib yang memberatkan. Pajak yang semakin berat ini berhubungan dengan semakin kecilnya daerah kekuasaan kesultanan.
Penyempitan daerah Banjar, dari waktu ke waktu berdasarkan perjanjian dengan Belanda, berpangkal pada adanya hasil tertentu di daerah kesultanan yang dapat diperdagangkan. Hasil tersebut adalah lada, rotan, damar, emas dan intan. Hasil-hasil ini yang mengundang orang asing (Belanda dan Inggris) datang ke tempat daerah Banjarmasin.
Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh pasukan Antasari pada tanggal 28 April 1859. Pada saat Pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di Pengaron, Kiai Demang Leman dengan pasukannya telah bergerak di sekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni 1859, Kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 bersama Haji Buyasin dan Kiai Langlang, Kiai Demang Leman berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio. Selain itu yang terlibat dalam perang Banjar melawan Belanda diantaranya Tumenggung Surapati di Lambang, Tumenggung Jalil di Amuntai dan Negara. Karena kedekatannya dengan rakyat Pangeran Hidayat diturunkan dari kedudukannya sebagai mangkubumi oleh Belanda. Pangeran Hidayat melakukan perlawanan dari daerah satu ke daerah lainnya bersama orang-orang yang setia kepadanya. Pangeran Hidayat ditangkap dan kemudian diasingkan ke Jawa pada tanggal 3 Februari 1862.
Pangeran Antasari makin giat melakukan perlawanan, terlebih setelah mendengar kabar tentang pengasingan Pangeran Hidayat saudara sepupunya ke Jawa. Kemahirannya dalam bertempur cukup memberi kepercayaan kepada pengikut atas kepemimpinanya. Karena kepercayaan ini, pada tanggal 14 Maret 1862 rakyat mengangkat Antasari sebagai pemimpin tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin yang membawa pengaruh besar bagi kepemimpinan Pangeran Antasari. Pangeran Antasari memimpin perlawanan terhadap Belanda sampai akhir hayatnya pada tanggal 11 Oktober 1862 di Hulu Teweh, tempat pertahanannya yang cukup kuat. Setelah Pangeran Antasari meninggal, perlawanan rakyat masih terus berlangsung dipimpin teman-teman seperjuangan dan putra-putra Pangeran Antasari antara lain Pangeran Muhammad Seman (Gusti Matseman). Belanda menyadari bahwa kekuatan perlawanan rakyat terletak pada para pemimpin-pemimpin mereka. Oleh karena itu, para pemimpin itu selalu dicari untuk ditangkap ataupun dibunuh. Dengan menyerahnya ataupun meninggalnya pemimpin-pemimpin mereka, perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda lumpuh dan akhirnya padam sama sekali yaitu setelah gugurnya Gusti Matseman pada tahun 1905.

KESIMPULAN

Perspektif Kolonial dan Indonesia-sentris
Dalam pandangan Pemerintah Hindia Belanda ataupun negeri konialis, sekian perjuangan kerajaan-kerajaan di atas dianggap sebagai sebuah pemberontakan dalam kacamata mereka. Karena perang-perang tersebut di atas mengganggu stabilitas mereka dalam melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan perdagangan mereka. Tentu hal tersebut berbeda dalam sudut pandang kerajaan tersebut, yang menganggap keutuhan wilayahnya (kekuasaan politik dan dagang) diganggu oleh bangsa pendatang. Kerajaan-kerajaan tersebut tentu menganggap mereka sebagai penjajah bagi bangsa mereka. Dalam sudut pandang pembangunan faham kebangsaan, maka sudut pandang sejarah menjadi penting bagi pembangunan identitas kebangsaan. Salah satunya adalah pembangunan kekuasaan wilayah Indonesia saat ini diperoleh dari klaim historis dan persamaan nasib atas kolonialisme.
Sedangkan nilai-nilai yang bisa kita ambil dari sejarah panjang perjuangan rakyat nusantara dalam menghadapi kolonialisme adalah bahwa negeri kolonial menggunakan kekuatan militernya untuk melakukan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan nusantara. Baik itu tindakan menyerang kerajaan ataupun membantu kerajaan dalam menghadapi ancaman dari kerajaan lain yang lebih besar. Dapat disimpulkan, bahwa belum ada persatuan yang kuat ketika masa itu, dimana kerajaan-kerajaan nusantara pun ingin memiliki wilayah kekuasaan yang luas. Ancaman-ancaman yang didapatkan dari kerajaan lain tersebut memaksa kerajaan tersebut membangun aliansi (meminta bantuan) untuk menghadapi ancaman tersebut.
Pola penaklukan pasca perang pun berbeda, sebagai contoh Belanda, menggunakan pendekatan kekuasaan dengan memanfaatkan kerajaan-kerajaan kekuasaannya untuk melakukan eksploitasi sumberdaya. Kerajaan-kerajaan tersebut tetap diakui kemerdekaannya, akan tetapi diatur politik ekonominya dengan sistem perjanjian yang dipaksakan oleh salah satu fihak. Artinya, Belanda cerdas dengan mempertahankan pola penghisapan rakyat dengan menggunakan atau mengatasnamakan raja (dewa atau turunan Tuhan). Sehingga yang seringkali terjadi adalah perjuangan rakyat selalu dihadapkan atau diselesaikan dengan “baik” oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Secara tidak langsung, Belanda tetap mempertahankan sistem feodalisme kerajaan untuk mengukuhkan kolonialisme. Hal ini berbeda dengan pola yang dibangun oleh Inggris dengan menghancurkan sistem feodal kerajaan, dan digantikan dengan struktur industri. Sehingga negara-negara yang dijajah atau menjadi daerah koloni Inggris lebih maju pasca kemerdekaan daripada negara-negara yang pernah menjadi koloni Belanda.

REFERENSI
Abid, M. Husnul, 2010. Saifuddin atau Safiuddin?: Atau Jambi di Pinggir Sejarah. Kontekstualita (Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan), Vol. 25, No. 2, 2010.

Budhisantoso, S. 2014. PANGERAN DIPONEGORO: Pahlawan Nasional. Jakarta: Pusat Studi Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Hidup UI.

Burhanuddin S, A.M.D, Suroyo, Endang S, Singgih T.S, Agus S, Sutejo K.W, Ahmad N, Dini P. 2003. Sejarah Maritim Indonesia : Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa sejak Jalam Prasejarah hingga Abad XVII. Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara. Lembaga Penelitian Universitas Diponogoro Semarang.

Muzakir, Ali. (2013). Kisah Orang Turki Dalam Sejarah Islam di Jambi. ThaqÃfiyyÃT (Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 14, No. 2, 2013.

Poesponegoro, Marwati Djoened. (2008).Sejarah Nasional Indonesia IV Kemunculan Penjajahan di Indonesia (±1700-1900). Jakarta. Balai Pustaka. 

Ricklefs, M.C. (2001). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.

Subroto, K. (2015). Tuanku Imam Bonjol dan Gerakan Padri : Pahlawan Nasional, Jihadis dan Transnasional. Laporan Khusus. Edisi XVIII. Lembaga Kajian Syamina

Wahyono, S.K . (2009). Indonesia Negara Maritim. Jakarta : Teraju

Zuhdi, Ubaidillah, dkk. 20xx. Aplikasi GMCR Untuk Resolusi Konflik (Studi Kasus: Perang Diponegoro (The Java War / De Java Oorlog)). Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik Vol. 02; No. 02; 2010; 20-37. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Garut.

Comments

Popular posts from this blog

PERTAHANAN SEBAGAI BARANG PUBLIK

PENGERTIAN NILAI TAMBAH DALAM PENDAPATAN NASIONAL

6 FAKTA KAMPUS BELA NEGARA