SEJARAH MARITIM DAN PERJUANGAN KERAJAAN-KERAJAAN NUSANTARA MELAWAN HEGEMONI EROPA
![]() |
SEJARAH
MARITIM DAN PERJUANGAN KERAJAAN-KERAJAAN NUSANTARA MELAWAN HEGEMONI EROPA
Oleh
:
Bambang Prasojo Wicaksono
|
(120170203004)
|
Dea Fadillah Damai
|
(120170203006)
|
Donny Setiawan
|
(120170203008)
|
Elesmi Hani
|
(120170203011)
|
Lutfia Inggriani
|
(120170203015)
|
Nuruma Uli Nuha
|
(120170203020)
|
UNIVERSITAS
PERTAHANAN INDONESIA
FAKULTAS
MANAJEMEN PERTAHANAN
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTAHANAN
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTAHANAN
TAHUN 2017
PENGANTAR
Dalam tulisan
ini, akan dibagi menjadi dua tema besar dalam perjalanan sejarah perang di
Nusantara. Pertama, kami mencoba
melihat tulisan ini berdasarkan sejarah
bahari yang ada di Indonesia saat ini, dengan dua kerajaan yang kami
anggap besar pada masanya (memiliki pengaruh wilayah cukup luas). Kedua
kerajaan tersebut adalah Sriwijaya dan Majapahit. Dimana kedua kerajaan ini
menjadi salah satu klaim sejarah atas pembentukan wilayah Indonesia. Kedua, pembahasan berikutnya kami akan
menuliskan tentang sejarah-sejarah perang yang mewakili setiap pulau besar
Indonesia melawan hegemoni Eropa, yakni: Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Karena
kami tidak mungkin menuliskan seluruh perjuangan kerajaan-kerajaan Nusantara
dari hegemoni negeri-negeri Eropa. Kami menyebutnya hegemoni bangsa eropa
dikarenakan, bangsa Cina dan Arab pun melakukan penjajahan dalam bentuk ekonomi
ataupun kebudayaan di Nusantara.
Perang-perang
tersebut memberikan akibat yang besar bagi Pemerintah Hindia Belanda dan
mengakibatkan berubahnya pola kolonialisasi yang ada di Sumatera dan Jawa.
Semisal Perang Diponegoro, melahirkan Sistem Tanam Paksa, yang memberikan dampak terhadap pola
penghisapan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Diakhir tulisan,
kami menuliskan perbedaan cara pandang sejarah dalam kaca mata Kolonialis dan
Indonesia-sentris. Yang kemudian dilanjutkan dengan kesimpulan yang didapat
dari tulisan ini.
PEMBAHASAN
I.
SEJARAH BAHARI
Sejak
masa Kolonial Belanda, Indonesia telah menjadi subjek perdagangan dunia melalui
laut. Selat Malaka merupakan pintu gerbang pelayaran dan perdagangan dunia sejak
masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Akibat dari berkembangnya
perdagangan dunia yang melalui rute di Laut Indonesia, bangsa Barat merubah
rute perdagangannya yang berawal dari Selat Malaka menjadi rute alternative
mengelilingi benua Afrika, menyebrangi Samudra Hindia, langsung menuju
Indonesia. Sedangkan bangsa Spanyol mencapai Indonesia dengan menyebrangi
Samudra Atlantik dan Pasifik. Rute pelayaran dan perdagangan bangsa barat dan
timur paling ramai melintasi Laut Jawa, karena beberapa alasan, antara lain :
(1) ombak di Laut Jawa relative kecil, (2) Laut Jawa berada di tengah Kepulauan
Indonesia, (3) kedudukan yang strategis jalur perdagangan dan pelayaran antara
Malaka, Jawa dan Maluku. Sehingga Laut Jawa merupakan Laut utama atau Laut inti
dari aktifitas perdagangan dan pelayaran di Nusantara dan jembatan penghubung
perdagangan di kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia.
Laut mengandung dinamika yang mampu
menciptakan kesatuan, hubungan antar manusia dan antar bangsa lewat
transportasi, perdagangan dan pertemuan budaya. Sejarah Bahari Indonesia
merupakan inti dari proses pembentukan interrelasi lintas budaya bangsa
Indonesia yang menggunakan saran aktifitas perdagangan dan politik bangsa
Barat-Timur.
SEJARAH KERAJAAN MARITIM DI INDONESIA
Kekuasaan
laut pada aktifitas perdagangan antara bangsa Barat dan bangsa Timur yang
melalui selat Malaka berada di bawah Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Kerajaan
Majapahit di Jawa. Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan pelayaran
serta pusat kegiatan ilmiah agama Budha. Kekuasaan Kerajaan Majapahit
berdasarkan pada kekuasaan di Laut. Perbedaan kekuasan Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel
1. Perbedaan
Kekuasaan Kerjaaan Sriwijaya dan Kerjaan Majapahit
|
Kerajaan Sriwijaya
|
Kerajaan Majapahit
|
Hubungan
Perdagangan, Ekspansi dan Konflik
|
Politik
Ekspansi untuk menaklukkan kerajaan lain di Sumatra terjadi pada abad ke-7,
tahun 690 M
|
Sumpah
Palapa oleh Gajah Mada : Ia tidak akan merasakan Palapa (rempah-rempah) sebelum
daerah seluruh Nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit
|
Memperluas
kekuasaan dari Melayu (Jambi) sampai Bangka dan Lampung Selatan tahun 686.
|
Politik
sistem Yoga, penaklukkan dengan kekuatan militer merupakan rencana
Kertanegara untuk persekutuan pan-Indonesia.
Diawali dengan serangan di Bali dibawah pimpinan Gajah Mada
|
|
Politik
Laut, mewajibkan kapal singgah di pelabuhan “paksaan menimbun barang”.
|
Daerah
kekuasaan Majapahit meliputi Mendawai, Brunai dan Tanjung Puri di Kalimantan,
Bali, Makassar, Banda dan Maluku.
|
|
Permulaan
abad ke-13 telah menguasai Sumatra, Malaka dan bagian Barat Pulau Jawa
(Sunda).
|
Kemunduran
Majapahit dikarenakan perang saudara, hilangnya kekuasaan pusat di luar
daerah Ibukota Majapahit.
|
|
Abad XII
daerah taklukkan Sriwijaya di Selat Malaka menerapkan pemberian upeti kepada
Negara Cina.
|
||
Kemunduran
Sriwijaya karena timbulnya konflik dengan kerajaan Mataram di Jawa Timur pada
abad X
|
||
Hubungan dengan Jawa
|
Sriwijaya
ingin menundukkan Jawa (Tarumanegara) dengan memasukkan Selat Sunda didalam
kekuasaan.
|
-----
|
Tahun 1275
ekspedisi perang (Pamaluyu) dari Jawa Timur ke Sumatra dimulai. Hasilnya,
Melayu takluk pada kerajaan Jawa.
|
||
Tradisi Diplomasi dan Pola
Pengamanan
|
Sriwijaya
mengirimkan upeti ke China agar mendapatkan perlindungan dan agar Cina tidak
membuka perdagangan laing dengan negara di Asia Tenggara.
|
Mengirimkan
pegawai Majapahit ke daerah takluk untuk memungut sumbangan di daerah
tersebut.
|
Pola
pengamanan dengan cara memasukkan kepala bajak laut dalam ikatan dengan
kerajaan, mendapatkan bagian yang ditentukan Raja dari hasil perdagangan.
|
Armada Kuat
untuk mengadakan ekspedisi-dera, serta pengawasan kepolisian
|
|
Akhir Kejayaan
|
Setelah abad
ke-14, timbul persengketaan dengan raja di Chola yang mengejar kekuasan laut
di Teluk Benggala
|
Penyebaran
agama Islam sejak tahun 1400 di Malaka. Berdirinya Kerajaan Islam yang
menentang kedaulatan Majapahit
|
Tahun 1365
Kerajaan Sriwijaya ditaklukkan Jawa, karena wilayah Sriwijaya tidak ditempati
oleh Jawa, akhirnya perebutan kekuasaan
wilayah Sriwijaya dilakukan oleh orang Tionghoa
|
Daerah
kekuasaan Majapahit mulai melepaskan diri terutama di daerah pesisir.
|
Sumber : data diolah
II. SEJARAH
PERANG PRA KEMERDEKAAN
1. Perang Padri
Perang Padri merupakan perang melawan
Belanda yang dipimpin oleh Imam Bonjol yang lahir di Minangkabau tahun 1772.
Awal munculnya Perang Padri dikarenakan konflik kekerasan masyarakat Islam
Lokal (Kaum Adat) dan penjajahan Belanda tahun 1830. Kondisi Minangkabau
mengalami kemerosotan moral, sehingga ada perbaikan yang dipelopori oleh para
ulama Minangkabau yang disebut sebagai kaum Padri yang mendapat dukungan dari
rakyat. Jihad periode pertama dimulai dengan perlawanan antara kaum Padri
dengan kaum Adat, dan Kaum Padri berhasil mendirikan daerah basis pemerintahan
di Bonjol yang menjalankan Syariat dan membawa kemakmuran di Minangkabau.
Periode kedua, kaum Adat yang beragama Islam meminta bantuan Belanda, namun
mereka mendapatkan kekejaman dari Belanda. Periode ketiga, Kaum Adat bersekutu
dengan Kaum Padri untuk melawan penjajahan Belanda, namun gagal akibat Kaum
Adat dan Kaum Padri diserang oleh pasukan koalisi pimpinan Belanda (Jawa,
Batavia, Bugis, Madura, Eropa dan Afrika).
Sejak
abad ke-11, Minangkabau dikenal sebagai penghasil emas yang menjadi komoditi
ekspor utama serta menjadi pemasok penghasilan utama para pemimpin adat
Minangkabau. Kepemimpinan Imam Bonjol berhasil meng-Islamkan penduduk pribumi.
Tujuan lain dari gerakan Padri adalah sebuah kepimpinan ulama dalam sebuah
pemerintahan yang sah disaat tidak ada satu pun pemerintahan atau kerajaan yang
berdaulat di wilayah tersebut waktu itu dan Indonesia belum menjadi sebuah
Negara yang berdaulat. Kekuasaan penjajah di Minangkabau antara lain :
1.Abad XI, India Selatan merupakan mitra dagang emas di
Minangkabau
2.Abad XV, Gujarat bergabung menjadi mitra dagang
Minangkabau
3. Abad XVI, Portugis di Malaka ingin
menguasai emas di Minangkabau untuk membayar lada Malabar dan Aceh. Secara
bertahap berhasil menempati pelabuhan pantai Minangkabau
4. Abad XVII, Belanda (VOC) mengambil
alih peran Minangkabau, menguasai emas untuk membayar rempah-rempah yang
dibutuhkan. Tanhun 1651, VOC mendapatkan emas di Pariaman.
Sekitar
tahun 1820 M, Kaum Padri berhasil menguasai sebagian besar Minangkabau. Mereka
melakukan Reorganisasi pemerintahan dengan sistem pengangkatan seorang imam
untuk agama dan Katib untuk keamanan, ketertiban dan keadilan. Perang Padri
dilakukan untuk menyatukan umat Islam delam satu kepemimpinan Imam, yaitu
Tuanku Imam Bonjol. Perang Padri terjadi sekitar abad XIX, keberhasilan perang
ditandai dengan berdirinya Benteng Bonjol yang berada di Bukit Tajadi (sebelah
Timur Alahan Panjang). Benteng Bonjol dilengkapi dengan senjata perang untuk
persiapan menghadapi perang. Perluasan kekuasaan kaum Padri, imam Bonjol mengerahkan
pasukan ke Tapanuli Selatan, keberhasilan kekuasaan ditandai dengan berdirinya
Benteng Rao dan Benteng Dalu-Dalu. Gerakan Padri dimulai tahun 1803 hingga 1838
dengan Belanda secara resmi menguasai sebagain kecil Sumatra Barat pada tahun
1821.
Setelah Padri ditaklukkan, pusat
kepemimpinan Padri berpindah-pindah untuk mengatur strategi perang melawan
Belanda. Perlawanan Padri menyebabkan Pasukan Belanda di Rao sampai Mangopoh
berhasil dikalahkan. Perang Padri didukung oleh kekuatan pasukan militer yang
cukup banyak dan kuat. Kekalahan Imam Bonjol adalah akibat dari umur yang sudah
tua, tidak memiliki pengganti dan penghianatan yang dilakukan Kaum Adat
terhadap Kaum Padri serta Padri tidak mampu memilah orang yang bersalah dengan
yang tidak disebabkan karena budaya kesukuan yang tinggi.
2. Perang
Diponogoro
Perang
Diponegoro adalah sebuah perang besar yang pernah terjadi di Pulau Jawa.
Pihak-pihak yang berseteru dalam perang ini adalah Pangeran Diponegoro beserta
pasukannya dan pasukan kolonial Belanda. Perang tersebut terjadi pada tahun
1825 hingga 1830. Dalam bahasa asing, perang ini dikenal dengan sebutan “The
Java War” atau “De Java Oorlog”. Awal mula terjadinya perang diponegoro
(1825-1830) pemicunya adalah adanya penancapan tonggak-tonggak pembuatan jalan rel kereta api yang
melewato area pekuburan leluhur Pangeran Diponegoro. Namun hal tersebut bukan
masalah utama yang sebenarnya yang sesungguhnya ini adalah akumulasi dari semua
permasalahan yang ada, seperti pajak yang tinggi, campur tangan belanda dalam
istana Yogyakarta, hingga permasalahan ketidak puasan di kalangan istana itu
sendiri. Pada masa peperangan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro saat itu
sebenarnya sudah mulai menunjukkan metode
perang yang taktis jika dipersamakan dengan metode perang modern saat ini.
lebih lanjut Zuhdi (2014) mempersamakan metode perang zaman dahulu yang
digunakan Pangeran Diponegoro seperti perang terbuka (open war fare) dan
perang gerilya (geurilla war), yang juga dilengkapi dengan taktik urat
syaraf (psy-war).
Pada tahun 1825-1826 adalah fase awal
dimulainya pengejaran Pangeran Diponegoro dengan hasil keputusan pribumi
mendukung Pangeran Diponegoro dan pasukan kolonial belanda. Pangeran Diponegoro
mendapatkan dukungan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran
Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo. Aksi atau opsi dari pasukan pribumi
pendukung Pangeran Diponegoro adalah perang gerilya, gencatan senjata, dan
spionase (maksud dari spionase di sini adalah memata-matai dan mencari kekuatan
& kelemahan lawan). Sedangkan aksi atau opsi dari pasukan kolonial Belanda
adalah mengejar Pangeran Diponegoro, gencatan senjata, menyelundupkan
mata-mata, psy-war (maksud dari psy-war di sini adalah insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat secara langsung dalam pertempuran), dan menjadikan Sultan Hamengku
Buwono (HB) II sebagai pemimpin Yogyakarta. Mata-mata yang diselundupkan oleh
pihak kolonial Belanda adalah Kyai Sentono. Menurut Ricklefs (2008), langkah
pengangkatan ini diambil dengan tujuan sebagai berikut: “…untuk mendorong
rakyat Jawa supaya tidak lagi mendukung pemberontakan”. Selain itu, bisa jadi
alasan pasukan kolonial Belanda mengangkat kembali Sultan HB II sebagai
pemimpin Yogyakarta adalah karena mereka masih melihat Sultan HB II sebagai
orang yang kharismatik di mata rakyat. Alasan lain dari pengangkatan tersebut
adalah bisa jadi agar pihak kolonial Belanda mendapatkan simpati dari pihak
istana Yogyakarta (Sultan HB II diturunkan dari tahtanya oleh pihak Inggris dan
diasingkan ke Ambon. Belanda bisa jadi melihat adanya kesempatan untuk
mendapatkan simpati dari pihak istana Yogyakarta jika berhasil menjadikan
kembali Sultan HB II sebagai pemimpin Yogyakarta). Pada tahun 1826 pihak Belanda berhasil memulangkan kembali
Sultan HB II dan menaikkan kembali tahta Sultan HB II.
Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda
bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo. Pangeran Diponegoro
bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan
Yogyakarta. Sementara itu, Belanda, yang tidak berhasil menangkap Pangeran
Diponegoro, membakar habis kediaman Pangeran. Selarong dijadikan markas untuk
menyusun kekuatan dan strategi penyerangan secara gerilya. Agar tidak mudah
diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke
Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
melalui tabel kejadian yang mengurutkan dan memetakan kejadian penting masa itu
Waktu
|
Kejadian
|
20 Juli 1825
|
Belanda
berusaha menangkap Pangeran Diponegoro dengan mengepung kediaman beliau
|
26 Maret 1826
|
Pertempuran
meluas ke Kembang-aren
|
16 April 1826
|
Pertempuran
sudah meluas sampai di Plered. Pasukan musuh dipimpin van Geen, Cochuis.
|
30 Juli 1826
|
Di
Lengkong Letnan Huebert mati tertembak
|
Agustus 1826
|
Pihak
Belanda memulangkan Sultan HB II dari tempat penga singannya di Ambon dan
mendudukkannya kembali di atas tahta Yogtakarta
|
Oktober 1826
|
Pasukan
Diponegoro menderita kekalahan besar (dipukul mundur dari Surakarta)
|
Akhir November 1826
|
Oleh
Residen Mc Gillavry di Solo diselundupkan beberapa gandek-putih, di antaranya
Kyai Sentono untuk "berbakti" kepada markas besar Komando.
Diketahui oleh Diponegoro dan diusir untuk kembali ke kota.
|
Pada puncak peperangan, Belanda
mengerahkan lebih dari 23.000 orang tentara dan pada tahun 1827, Belanda
melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan benteng sehingga
Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja ditangkap. Kemudian
Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada
Belanda.
Selama perang berlangsung sekitar
200.000 penduduk (termasuk penduduk desa yang sakit dan kelaparan), 8.000 serdadu Eropa dan 7.000
tentara pribumi tewas, dengan memakan dana tidak kurang dari 20 juta gulden.
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa Perang Diponegoro merupakan perang
besar di Jawa selama periode awal abad 19. Sedemikian hebatnya perlawanan P.
Diponegoro sampai-sampai membuat pemerintah kolonial berganti strategi untuk menghadapi
peperangan ini. Apabila pada awal perang Strategi Belanda adalah melakukan
pengejaran untuk menangkap P. Diponegoro, yang justru menimbulkan banyak korban
di pihak Belanda, maka pada fase selanjutnya yaitu memasuki tahun 1827,
berdasarkan informasi mata-mata Belanda, Kyai Sentono yang telah diselundupkan
ke markas P. Diponegoro sejak Nopember 1826, Belanda merubah strategi.
Konsentrasi mereka tidak lagi pada pengejaran P. Diponegoro tetapi pada taktik
pengepungan melalui pembangunan benteng dan pos pertahanan Benteng Stelsel. Perang Diponegoro juga
sekaligus perang besar dan dianggap sebagai fase terakhir keterlibatan tentara
Jawa dalam perang. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock
berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro
menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya
dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Akibat dari perang ini pun begitu besar bagi Pemerintah
Hindia Belanda, hingga menyebabkan anggaran negara menjadi minus. Krisis
anggaran tersebut disamping untuk membiayai perang melawan Diponegoro juga
digunakan dalam rangka ekspedisi-ekpedisi militernya di Jawa maupun di Luar
Jawa. Negeri Belanda sebelumnya pun sudah meminjam uang sebesar 40 juta gulden,
untuk kepentingan tersebut. Guna mengatasi kesulitan keuangan pasca perang,
Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Sistem Tanam Paksa dengan tanaman yang
sesuai dengan komoditas pasar Eropa melalui lelang di Amsterdam (kopi, teh,
gula, nila, tembakau, kayu manis, kapas, dll), yang diusulkan oleh v.d. Bosch
(kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal). Dapat dikatakan, pasca Perang
Diponegoro, Jawa menjadi gabus yang digunakan Belanda untuk mengapung di tengah
lautan. Jawa dijadikan perkebunan besar dengan menggunakan wilayah kekuasaan
mataram dan Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun perkebunan raksasa, Pulau
Jawa.
3.
Perang
Jambi
Proses
berdirinya Kesultanan Jambi, yang dimulai sejak di akhir abad ke-15 pada masa
Sultan ‘Abd al-Qahhar (berkuasa 1615-1643). Sultan ‘Abd al-Qahhar mulai
mengaktifkan kesultanan dengan cara menjalin hubungan politik dan perdagangan
dengan bangsa-bangsa Eropa (Inggris dan Belanda). Perdagangan dilakukan di
Sungai Batanghari sehingga abad ke-17 ibu kota Kesultanan Jambi menjadi
pelabuhan dagang yang kaya dan ramai. (Muzakir Ali, 2013). Kontak Jambi-Negara Eropa dimulai pada 1615 ketika Jan Pieterzoon
Coen, Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), mengirim dua
kapal ke Jambi di bawah pimpinan kepala perwakilan dagang (opperkoopman)
Sterck.
Terdapat
dua strategi yang digunakan Belanda untuk menguatkan posisinya di Jambi. Pertama, membangun perwakilan dagang,
yang terlaksana pada tahun kedatangan Belanda, tepatnya 15 September 1615.
Pendirian perwakilan dagang lebih bersifat “politis” ketimbang “ekonomis”,
karena Jambi bukanlah penghasil komoditas dan pelabuhan dagang terpenting,
namun Jambi menjadi penting karena merica yang dihasilkan petani pedalaman
Minangkabau dibawa menyusuri sungai Batanghari dan pelabuhan vital seperti
Malaka dikuasai Portugis dan Belanda belum punya kekuasaan di mana pun. (Abid M
Husnul, 2010). Ketika Malaka dan Palembang telah jatuh ke kekuasaan Belanda,
perwakilan dagang di Jambi ditutup. Kedua,
membuat serangkaian kontrak atau perjanjian dengan penguasa di Jambi. Sejak
pertama datang, yang dilakukan adalah meyakinkan “maksud baik” Belanda kepada
penguasa Kerajaan Jambi sambil menghasut agar melarang Inggris berdagang di
Jambi. Jambi terlibat pertikaian kekuasaan dengan para tetangganya, karena
persaingan kerajaan-kerajaan di Nusantara bagian barat untuk menjadi kerajaan
terkuat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Kelemahan Jambi dalam abad
XVII adalah negeri yang mudah diserang para tetangganya.
Pada
awalnya kerjasama Kesultanan Jambi dan Belanda, membantu Jambi (Sultan ’Abd
al-Muhyi berk. 1665-1690), pada saat terjadi konflik dengan Johor. Konflik yang
berlangsung sporadis dari tahun 1666 sampai 1679 berhasil mengokohkan kedudukan
Kesultanan Jambi atas Johor. Sebagai imbalan atas bantuan tersebut, pada tahun
1683, Belanda menyodorkan perjanjian dagang meminta monopoli perdagangan lada
di Jambi. Sikap monopoli perdagangan Belanda mendapatkan perlawanan dari rakyat
Jambi. Belanda menuduh Sultan Sri Isterah Ingologo yang berkuasa 1740-1770)
dibalik penyerangan kantor VOC pada 1690. Penyerangan kontor perdagangan VOC
pada 1690 menjadi konflik pertama Jambi dengan Belanda.
Ketika Sultan
Taha naik takhta pada 1855, menolak mematuhi perjanjian dengan Belanda,
sehingga Belanda membuat ekspedisi militer tahun 1857 menyebabkan kekuasaan
Sultan Taha berakhir pada 1858 karena menerapkan sistem menghindar (mencari
bantuan militer kepada Turki ’Utsmaniyah). Dalam kurun waktu antara tahun
1856-1904, semangat perjuangan rakyat jambi menggelora di bawah pimpinan Sultan
Thaha Saifuddin denganmelancarkan perlawanan gerilya sesuai dengan kemampuan
dan kekuatannya dibawah pimpinan hulubalangnya.
Keberadaan
dan harapan kepada orang Turki dalam usaha umat Islam di Jambi untuk mengusir
Belanda juga sangat kuat tertanam di dalam pemikiran Sultan Thaha sejak
pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Oleh karena itu ia beberapa kali
mencoba untuk menghubungi Sultan Turki, guna mendapatkan bantuan politik dan
militer. Usaha-usaha Sultan Thaha di Jambi dalam mencari bantuan kepada Turki
‘Utsmaniyah menunjukkan kenyataan tentang adanya sentimen, yang secara
teologis, menunjukkan keislaman yang kuat.
4. Perang Aceh
Aceh mempunyai letak yang strategis terletak di ujung
utara pulau Sumatera, diapit oleh dua lautan, yaitu Hindia dan Selat Malaka
yang menjadikannya menjadi jalur pelayaran dan perdagangan sebagai pintu masuk
ke Nusantara dan Asia Pasifik. Perhubungan melalui laut adalah transportasi
yang sangat penting dan satu-satunya sarana yang dapat menghubungkan dari satu
daerah atau Negara ke daerah atau Negara lain yang menuntut Aceh untuk mampu
menguasai lautan. Banda Aceh menjadi persinggahan kapal-kapal dagang dari
Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Asia menuju ke Asia Timur maupun Asia Tenggara
melalui Selat Malaka. Banyak bangsa asing ingin menguasai daratan Aceh. Maka
letak geografis Aceh yang strategis mendorong kerajaan Aceh menjadi sebuah
kerajaan Maritim dan memperkuat Armada Lautnya untuk mempertahankan
kedaulatannya.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah al
Mukammil (1589-1604) terjadi pertempuran laut antara Armada Selat Malaka Aceh
dengan Armada Portugis yang diakhiri dengan hancurnya Armada Portugis.
Kemenangan Armada Selat Malaka Aceh atas Armada Portugis mendorong Malahayati
untuk membentuk sebuah Armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semuanya para
wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru yang diberi
nama Inong Balee. Penugasan pertama Armada Inong Balee ini aenyerbu kapal-kapal
Belanda yang menyamar sebagai kapal dagang yang dipimpin oleh Cornelis de
Houtman dan Frederijk de Houtman karena pengkhianatannya kepada Sultan.
Malahayati diangkat menjadi Laksamana dan Panglima Armada wanita pertama di
dunia.
Setelah kekalahan Cornelis de Houtman, Portugis
dibawah pimpinan Martin Alfonso menyerang kota Banda Aceh dan berhasil diusir
oleh rakyat Aceh pada tahun 1606 M. Kapal-kapal Aceh berhasil mengalahkan
Portugis di lepas Pantai Bintan dalam pertempuran tiga hari di tahun 1615 M. Pada
tanggal 14 Januari 1641 M, Belanda menduduki
Malaka pada saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada tahun 1858,
Belanda melanggar perjanjian Siak dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli,
Langkat, Asahan, dan Serdang kepada Belanda yang sejak kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda di bawah kekuasaan Aceh. Kapal-kapal Belanda ditengggelamkan yang
didukung oleh Inggris. Maka hal ini membuka hubungan diplomasi antara Belanda
dan Inggris melalui perjanjian London tahun 1871 M yang didukung dengan
dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps dalam memperebutkan Selat
Malaka Aceh sebagai lalu lintas penting perdagangan.
Pada tahun 1873- 1942 M merupakan perang berkecamuk
anatar Belanda dan Aceh dan menjadi perang terlama di Indonesia. Pada 8 April
1873, Johan Harmen Rudolf Kohler dan pasukannya mendarat di Pantai Ceureuman
langsung menduduki Masjid Baiturrahman yang menimbulkan perang Aceh Pertama
(1873-1874) sebagai ekspedisi Belanda mengakhiri perjanjian London. Perang Aceh
ini dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud dan berhasil menggagalkan
usaha Belanda. Pada tanggal 20 November 1873 KNIL mengumumkan perang setelah
kegagalannya yang pertama. Belanda berpikir telah menang perang dan mengumumkan
membubarkan kesultanan Aceh. Namun pihak Aceh masih melakukan perlawanan.
Sultan Mahmud Syah dan pengikutnya menarik ke bukit dan digantikan oleh Sultan
Ibrahim Mansyur Syah (1874-1903).
Perang Aceh kemudian dilanjutkan secara gerilya .Pada
tahun 1899 terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh yang menyebabkan Teuku Umar gugur dan
diteruskan oleh istrinya Cut Nyak Dien sebagai komandan perang
gerilya berikutnya. Namun Cut Nyak
Dhien akhirnya dapat ditangkap setelah pengawal kepercayaannya melakukan
perjanjian rahasia dengan belanda. Cut Nyak Dhien
kemudian diasingkan dan meninggal di Sumedang, Jawa Barat.
5.
Perang
Banjarmasin
Perlawanan
yang terjadi di Kalimantan Selatan, di wilayah kerajaan Banjar berlangsung
hampir setengah abad lamanya. Jika dilihat coraknya, perlawanan dapat dibedakan
antara perlawanan ofensif yang berlangsung dalam waktu relatif pendek
(1859-1863), dan perlawanan defensif yang mengisi seluruh perjuangan
selanjutnya (1863-1905). Perlawanan ini meletus pada tahun 1859 karena rakyat
dan beberapa bangsawan di Banjar merasa tidak senang dengan pengangkatan
Pangeran Tamjidillah. Kalau ditinjau lebih jauh, di kalangan rakyat sudah lama
terpendam rasa tidak senang karena persoalan pajak dan kerja wajib yang memberatkan.
Pajak yang semakin berat ini berhubungan dengan semakin kecilnya daerah
kekuasaan kesultanan.
Penyempitan
daerah Banjar, dari waktu ke waktu berdasarkan perjanjian dengan Belanda,
berpangkal pada adanya hasil tertentu di daerah kesultanan yang dapat
diperdagangkan. Hasil tersebut adalah lada, rotan, damar, emas dan intan.
Hasil-hasil ini yang mengundang orang asing (Belanda dan Inggris) datang ke
tempat daerah Banjarmasin.
Perlawanan
rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan Pangeran
Antasari yang berhasil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu
pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh
pasukan Antasari pada tanggal 28 April 1859. Pada saat Pangeran Antasari
mengepung benteng Belanda di Pengaron, Kiai Demang Leman dengan pasukannya
telah bergerak di sekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda di Pengaron.
Bersama-sama dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni 1859, Kiai Demang Leman
menyerbu pos Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859
bersama Haji Buyasin dan Kiai Langlang, Kiai Demang Leman berhasil merebut
benteng Belanda di Tabanio. Selain itu yang terlibat dalam perang Banjar
melawan Belanda diantaranya Tumenggung Surapati di Lambang, Tumenggung Jalil di
Amuntai dan Negara. Karena kedekatannya dengan rakyat Pangeran Hidayat
diturunkan dari kedudukannya sebagai mangkubumi oleh Belanda. Pangeran Hidayat
melakukan perlawanan dari daerah satu ke daerah lainnya bersama orang-orang
yang setia kepadanya. Pangeran Hidayat ditangkap dan kemudian diasingkan ke
Jawa pada tanggal 3 Februari 1862.
Pangeran
Antasari makin giat melakukan perlawanan, terlebih setelah mendengar kabar
tentang pengasingan Pangeran Hidayat saudara sepupunya ke Jawa. Kemahirannya
dalam bertempur cukup memberi kepercayaan kepada pengikut atas kepemimpinanya.
Karena kepercayaan ini, pada tanggal 14 Maret 1862 rakyat mengangkat Antasari
sebagai pemimpin tertinggi agama dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin yang membawa pengaruh besar bagi kepemimpinan Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari memimpin perlawanan terhadap Belanda sampai akhir hayatnya
pada tanggal 11 Oktober 1862 di Hulu Teweh, tempat pertahanannya yang cukup
kuat. Setelah Pangeran Antasari meninggal, perlawanan rakyat masih terus
berlangsung dipimpin teman-teman seperjuangan dan putra-putra Pangeran Antasari
antara lain Pangeran Muhammad Seman (Gusti Matseman). Belanda menyadari bahwa
kekuatan perlawanan rakyat terletak pada para pemimpin-pemimpin mereka. Oleh
karena itu, para pemimpin itu selalu dicari untuk ditangkap ataupun dibunuh.
Dengan menyerahnya ataupun meninggalnya pemimpin-pemimpin mereka, perlawanan
rakyat Banjar terhadap Belanda lumpuh dan akhirnya padam sama sekali yaitu
setelah gugurnya Gusti Matseman pada tahun 1905.
KESIMPULAN
Perspektif
Kolonial dan Indonesia-sentris
Dalam pandangan
Pemerintah Hindia Belanda ataupun negeri konialis, sekian perjuangan
kerajaan-kerajaan di atas dianggap sebagai sebuah pemberontakan dalam kacamata
mereka. Karena perang-perang tersebut di atas mengganggu stabilitas mereka
dalam melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan perdagangan mereka. Tentu hal
tersebut berbeda dalam sudut pandang kerajaan tersebut, yang menganggap
keutuhan wilayahnya (kekuasaan politik dan dagang) diganggu oleh bangsa
pendatang. Kerajaan-kerajaan tersebut tentu menganggap mereka sebagai penjajah
bagi bangsa mereka. Dalam sudut pandang pembangunan faham kebangsaan, maka
sudut pandang sejarah menjadi penting bagi pembangunan identitas kebangsaan.
Salah satunya adalah pembangunan kekuasaan wilayah Indonesia saat ini diperoleh
dari klaim historis dan persamaan nasib atas kolonialisme.
Sedangkan
nilai-nilai yang bisa kita ambil dari sejarah panjang perjuangan rakyat
nusantara dalam menghadapi kolonialisme adalah bahwa negeri kolonial
menggunakan kekuatan militernya untuk melakukan perdagangan dengan
kerajaan-kerajaan nusantara. Baik itu tindakan menyerang kerajaan ataupun
membantu kerajaan dalam menghadapi ancaman dari kerajaan lain yang lebih besar.
Dapat disimpulkan, bahwa belum ada persatuan yang kuat ketika masa itu, dimana
kerajaan-kerajaan nusantara pun ingin memiliki wilayah kekuasaan yang luas.
Ancaman-ancaman yang didapatkan dari kerajaan lain tersebut memaksa kerajaan
tersebut membangun aliansi (meminta bantuan) untuk menghadapi ancaman tersebut.
Pola penaklukan
pasca perang pun berbeda, sebagai contoh Belanda, menggunakan pendekatan
kekuasaan dengan memanfaatkan kerajaan-kerajaan kekuasaannya untuk melakukan
eksploitasi sumberdaya. Kerajaan-kerajaan tersebut tetap diakui kemerdekaannya,
akan tetapi diatur politik ekonominya dengan sistem perjanjian yang dipaksakan
oleh salah satu fihak. Artinya, Belanda cerdas dengan mempertahankan pola
penghisapan rakyat dengan menggunakan atau mengatasnamakan raja (dewa atau
turunan Tuhan). Sehingga yang seringkali terjadi adalah perjuangan rakyat
selalu dihadapkan atau diselesaikan dengan “baik” oleh kerajaan-kerajaan
tersebut. Secara tidak
langsung, Belanda tetap mempertahankan sistem feodalisme kerajaan untuk mengukuhkan
kolonialisme. Hal ini berbeda dengan pola yang dibangun oleh Inggris dengan
menghancurkan sistem feodal kerajaan, dan digantikan dengan struktur industri.
Sehingga negara-negara yang dijajah atau menjadi daerah koloni Inggris lebih
maju pasca kemerdekaan daripada negara-negara yang pernah menjadi koloni
Belanda.
REFERENSI
Abid, M. Husnul, 2010. Saifuddin atau Safiuddin?: Atau
Jambi di Pinggir Sejarah. Kontekstualita (Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan), Vol. 25, No. 2, 2010.
Budhisantoso, S. 2014. PANGERAN DIPONEGORO: Pahlawan
Nasional. Jakarta: Pusat Studi Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Hidup UI.
Burhanuddin S, A.M.D, Suroyo, Endang S, Singgih T.S, Agus
S, Sutejo K.W, Ahmad N, Dini P. 2003. Sejarah
Maritim Indonesia : Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses
Integrasi Bangsa sejak Jalam Prasejarah hingga Abad XVII. Pusat Kajian
Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara. Lembaga Penelitian Universitas
Diponogoro Semarang.
Muzakir, Ali. (2013). Kisah
Orang Turki Dalam Sejarah Islam di Jambi. ThaqÃfiyyÃT (Jurnal Bahasa,
Peradaban dan Informasi Islam) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Vol. 14, No. 2,
2013.
Poesponegoro, Marwati Djoened. (2008).Sejarah Nasional Indonesia
IV Kemunculan Penjajahan di Indonesia (±1700-1900).
Jakarta. Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. (2001). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Subroto, K. (2015).
Tuanku Imam Bonjol dan Gerakan Padri :
Pahlawan Nasional, Jihadis dan Transnasional. Laporan Khusus. Edisi XVIII.
Lembaga Kajian Syamina
Wahyono, S.K . (2009).
Indonesia Negara Maritim. Jakarta :
Teraju
Zuhdi, Ubaidillah, dkk. 20xx. Aplikasi GMCR Untuk
Resolusi Konflik (Studi Kasus: Perang Diponegoro (The Java War / De Java
Oorlog)). Jurnal Pembangunan dan Kebijakan Publik Vol. 02; No. 02; 2010;
20-37. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Garut.
Comments
Post a Comment